Senin, 17 Oktober 2011

Pandangan Politik Isa Anshary

sumber kutipan dari http://eakhbar.blog.com
Penulis : Pepen Irfan Fauzan

Kembalinya Khittoh Perjuangan Persis Ala Isa Anshary

Berbeda dengan Natsir yang berpandangan moderat, adalah Isa Anshary seorang tokoh Persis yang dominan pada waktu itu mempunyai pandangan yang lebih keras. Ia sendiri menegaskan sebagai kelompok radikal-revolusioner:
Djikalau kita mendjeladjah perkembangan aliran pikiran dalam masjarakat kaum muslimin—djuga di Indonesia—kita melihat ada tiga aliran tjara berpikir dalam memahamkan persoalan agama. Pertama, aliran konservatif-reaksionarisme, aliran beku dan djumud, jang setjara a priori menolak setiap faham dan kejakinan jang hendak merubah faham…Kedua, aliran moderat-liberalisme, mengetahui mana jang sunnah dan mana jang bid’ah, megetahui kesesatan bid’ah, tetapi tidak aktif dan positif memberantas bid’ah…Ketiga, aliran revolusioner-radikalisme, aliran jang hendak merubah masjarakat ini sampai ke akarakarnja… Kaum ‘Persatuan Islam’ adalah penganut aliran jang ketiga ini. (Isa Anshary, Manifest Perjuangan Persatuan Islam, 1958)
Terkait masalah Pancasila yang dianggap sebagai modus vivendi atau konsensus antara kalangan Islam dengan kalangan sekular pada tahun 1945, Isa Anshary tidak bisa menerimanya. Sebagaimana umumnya sikap radikalistik yang cenderung nonkompromistik, maka Isa Anshary pun mempunyai pandangan politik yang tegas dalam menolak konsep negara pancasila. Berbeda dengan Hamka dan Natsir, Isa Anshary telah menyerang Pancasila dengan kata-kata yang keras.
Kritik Isa Anshary tidak hanya ditujukan kepada kalangan sekular, namun juga terhadap sesama kelompok Islam. Secara tidak langsung, Isa Anshary pun menyerang Hamka dan Natsir yang mempunyai pandangan moderat mengenai Pancasila. Baginya, pemimpin seperti itu adalah pemimpin yang tidak istiqamah (Anshary, 1957).
Secara tidak langsung, Isa Anshary mengarahkan kritikannya—salah satunya—kepada Natsir. Pernyataan Isa Anshary yang menyebut adanya pemimpin Islam yangberubah haluan menjadi menerima Pancasila karena menghadapi Pemilihan Umum, jelas mengena kepada sosok M. Natsir yang pada peringatan Nuzulul Quran tahun 1954, sebelum Pemilu 1955, yang berpidato tentang kesesuaian sila-sila dalam Pancasila dengan Islam. Natsir berkali-kali balik mengritik agar orang jangan sembarang mengatakan Islam
sebagai anti-Pancasila. Isa Anshary sangat kecewa. Menurutnya, keadaan inilah yang justru membuat partai Islam Masyumi menjadi kalah dalam Pemilu 1955 (Anshary, 1957).
Menurut Isa Anshary, demikian banyak pihak yang mendakwakan diri mempertahankan Pancasila atau setia kepada Pancasila, akhirnya telah membuat Pancasila itu menjadi sejenis thaghut (berhala) yang “merobek dua kalimah sjahadat dan memperkosa rangka tubuh agama kami sendiri” (Anshary, 1958). Lebih jauh, Isa Anshary menyatakan bahwa Pancasila tidaklah sama dengan Islam. Demikian juga, hukum Islam tidak akan tegak di bawah Pancasila:
Sebelas tahun lamanja kita ber-Pantja Sila, nasib agama kita masih seperti sediakala, tiada berubah. Mempertahankan dan menerima Pantja Sila sebagai dasar negara, mempertahankan dan menerima Pantja Sila sebagai asas-kehidupan kenegaraan, berarti tidak membawa madju dan ladju Islam sebagai Undang-Undang hidup jg menghidupkan. Bukan ideologi Pantja Sila, bukan hukum Pantja Sila, bukan negara Pantja Sila jang wadjib kita tegakkan, tapi ideologi Islam, hukum Islam, negara Islam…Hukum Islam harus tegak, ideologi Islam harus menang (Anshary, 1957)
Bagi Isa Anshary, Islam sebagai dasar negara merupakan satu hal yang tidak bisa dikompromikan. Landasan pemikiran Isa Anshary adalah penafsirannya mengenai masalah ideologi yang diserupakan dengan keyakinan agama. Lebih tegasnya, ideologi Islam adalah sekaligus juga aqidah Islam: “Ideologi dan filosofi negara adalah termasuk aqidah bagi umat Islam. Dalam lapangan aqidah umat Islam haram mengadakan kompromi. Siapa jang mau berkompromi, berchianatlah dia kepada Islam…kepada Allah dan RasulNja” (Anshary, 1957).
Dalam bagian lain, Isa Anshary menjelaskan tentang aqidah Islamijjah yang merupakan persoalan prinsipil bagi umat Islam. Dalam hal ini, menurut Isa Anshary, suatu “ijtihad jang benar dalam pengertian djihad Islam untuk menegakkan Daulah dan Hukumijjah Islamijjah, tiada mungkin kalau hanja didasarkan kepada intelektualisme semata-mata”. Menurut pandangannya, ijtihad itu harus dengan bashirah. Yakni, pandangan dan tinjauan bathin yang bersendikan aqidah. Berdasarkan hal inilah, ia menegaskan sikap non-kompromistisnya: “Ideologi jang tengah kita perdjuangkan ini adalah amanah dan risalah jang dipertjajakan Tuhan kepada kita…Amanat ini adalah muthlak, tidak boleh ditawar”. Terkait amanat ummat juga yang menjadi alasannya menolak Pancasila. (Anshari, 1957).
Berdasarkan penafsirannya terhadap beberapa ayat Quran (Ali Imran, 119; Al-Nisa, 59, 115, 139, 141, 144; Al-Maidah, 51, 55,-57; Al-Taubah, 8, 23, 96; Al-Mujadilah, 19-20, 22; Al-Kahfi, 29) Isa Anshary menetapkan garis pembatas karakter pemimpin yang beriman dan yang kufur (munafiq) diindikasikan dari sikap tegas atau tidaknya dalam berpolitik. Sikap kompromistis adalah sikap munafik yang telah keluar dari garis perjuangan Islam. Ia menyimpulkan:
…mengenai Imam dan Imamah dari kaum muslimin…Ia meletakkan “hudud” , batas dan ketentuan, ketetapan dan garis demarkasi jang tadjam sekali, jang haram bagi kaum Muslimin melanggarnja karena untuk memelihara apa jang dinamakan persatuan nasional—seperti jang kita biasa kita dengar dari mulut-mulut munafiq di waktu jang achir-achir ini. Itulah hudud dan hukum Allah (Anshary, Manifest, 1958).
Isa Anshary meyakini bahwa perjuangan kemerdekaan tidak akan lengkap dan revolusi tidak akan berakhir sampai bentuk kontrol Islam terhadap negara dibangun. Untuk itu, ia beranggapan perlunya suatu ‘revolusi Islam’. Ia mengatakan bahwa revolusi Islam bukanlah revolusi nasional yang terbatas pada batasan-batasan teritorial, tetapi lebih merupakan revolusi untuk membebaskan manusia dari eksploitasi fisik dan spiritual. Ia berpendapat bahwa teori, karakter, hakikat, karakteristik, dan filsafat revolusi ini ditentukan oleh Tuhan melalui wahyu dalam bentuk Sunnah (Nabi). Ia menekankan bahwa revolusi Indonesia harus dilanjutkan, tetapi ia harus diberi muatan spiritual untuk mencapai tujuannya menegakkan Islam dan hukum-hukumnya dalam negara dan masyarakat. Hal ini, menurutnya, adalah kewajiban umat Islam yang telah turun-temurun diperjuangkan.
Menurut Isa Anshary, terdapat tiga Qaidah Revolusi Islam. Pertama, perubahan dan perbaikan umat manusia harus dimulai dari keadaan bathiniyyah (mental-spiritual), baru keadaan lahiriyyah (fisik). Kedua, perubahan dan perbaikan keadaan masyarakat harus dilakukan dengan dimulai dari perseorangan, individu-individu anggota masyarakat tersebut. Ketiga, pembinaan dan pembangunan keadilan dan kesejahteraan sosial harus dimulai dari bawah, sedangkan pembersihan ke-dzalim-an, penipuan, korupsi, harus dimulai dari atas.
Oleh karena itulah, Isa Anshary menjadi geram ketika orang-orang menyerukan untuk menghentikan perdebatan masalah furu’iyyah, demi tergalangnya persatuan (politik). Ia dengan tegas menyatakan bahwa Persatuan Islam tidak dapat menerima pandangan tersebut, karena hal itu merupakan suatu pengkhianatan terhadap misi agama (Islam).
Tuduhan pengkhianatan atas misi Islam dari Isa Anshary ini didasarkan atas pemahamannya bahwa masalah chilafiyyah itu adalah bagian dasar dari perjuangan politik Islam. Di lihat dari tujuannya, timbulnya chilafiyyah itu bukan untuk saling menjatuhkan, tetapi untuk “mentjari kebenaran dan mempertadjam kehidupan ruhani”. Kehidupan ruhani itu sendiri adalah program pertama dan mendasar dari proses revolusi Islam. Oleh karena itu, Isa Anshary berkeyakinan bahwa “tjita-tjita kita bersama hendak meninggikan
kalimah Allah…hanjalah dapat ditjapai dengan djalan membersihkan dan menjehatkan Agama dalam kehidupan kita sendiri”.
Fokus Isa Anshary adalah pelaksanaan hukum Quran-Hadits secara muthlak. Dalam konteks inilah, bagi Isa Anshary, yang dibutuhkan adalah kepemimpinan elite ulama, termasuk dalam masalah ketatanegaraan. Argumentasinya adalah karena elitee ulama inilah yang paham tentang syariah dalam Quran-Hadits. Isa Anshary menegaskan, “perintah bermusjawarah jang sering ditardjamahkan orang dengan istilah demokrasi itu sebenarnja tidaklah dengan pengertian ber-Tahkim kepada orang banyak, melalui pungutan suara, mentjari kemenangan separo tambah satu”. Dalam kajian lainnya, Isa Anshary menjelaskan bahwa, “Sistim hidup berdjamaah menurut adjaran Islam, ialah hidup berimamah, hidup memiliki kethaatan. Hidup ber pimpinan dan berkethaatan, ialah hidup ber-Quran dan ber-Sunnah.”
Titik tolak yang menjadi dasar pemikiran Isa Anshary adalah pemahamannya tentang masalah kepemimpinan para ulama ahli hukum. Bagi Isa Anshary, mereka inilah yang berhak memutuskan suatu masalah, termasuk masalah ketatanegaraan. Alasannya, kaum ulama adalah elite masyarakat, karena mengerti Quran-Sunnah. Isa Anshary mengatakan,
Instansi ‘Ahlu Halli wal Aqdy’ dalam sedjarah kenegaraan Islam, ialah kaum jang mengerti Quran dan Sunnah, ialah ulama. Ulama jang berhak ‘mengikat’ dan ‘mengangkat’ Ahlu Halli wal Aqdy, bukan suara terbanjak jang tidak mempunjai ukuran Qur’an dan Sunnah” (Anshary, Persoalan Pimpinan, 1957)
Dalam khazanah pemikiran politik Islam, apa yang ditegaskan Isa Anshary itu bukanlah tesis baru. Jelas ia merujuk pada khazanah klasik ulama sunni yang terkenal, yaitu Imam Al-Mawardi. Di lingkungan syi’ah, ada Imam Khomaeni, misalnya, yang mengajukan konsep ‘Vilayat-e-Fakih’. Yakni, kekuasaan politik itu, baik eksekutif maupun legislatif, ada di tangan kaum cendekia yang paham akan hukum agama atau yang biasa disebut kaum fakih. Kaum fakih ini adalah penafsir, panjaga, sekaligus pelaksana syari’ah. Bedanya, Isa Anshary hanya menekankan dari segi pembuatan hukum saja, yakni konstitusi. Isa Anshary tidak menjelaskan lebih lanjut teorinya itu, yakni apakah kekuasaan kaum ulama (ahli syariah) itu juga meliputi wilayah eksekutif. Ia berhenti padasoal Ahlu Halli wa al-Aqdy (lembaga legislatif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar