Senin, 17 Oktober 2011

Pandangan Politik Isa Anshary

sumber kutipan dari http://eakhbar.blog.com
Penulis : Pepen Irfan Fauzan

Kembalinya Khittoh Perjuangan Persis Ala Isa Anshary

Berbeda dengan Natsir yang berpandangan moderat, adalah Isa Anshary seorang tokoh Persis yang dominan pada waktu itu mempunyai pandangan yang lebih keras. Ia sendiri menegaskan sebagai kelompok radikal-revolusioner:
Djikalau kita mendjeladjah perkembangan aliran pikiran dalam masjarakat kaum muslimin—djuga di Indonesia—kita melihat ada tiga aliran tjara berpikir dalam memahamkan persoalan agama. Pertama, aliran konservatif-reaksionarisme, aliran beku dan djumud, jang setjara a priori menolak setiap faham dan kejakinan jang hendak merubah faham…Kedua, aliran moderat-liberalisme, mengetahui mana jang sunnah dan mana jang bid’ah, megetahui kesesatan bid’ah, tetapi tidak aktif dan positif memberantas bid’ah…Ketiga, aliran revolusioner-radikalisme, aliran jang hendak merubah masjarakat ini sampai ke akarakarnja… Kaum ‘Persatuan Islam’ adalah penganut aliran jang ketiga ini. (Isa Anshary, Manifest Perjuangan Persatuan Islam, 1958)
Terkait masalah Pancasila yang dianggap sebagai modus vivendi atau konsensus antara kalangan Islam dengan kalangan sekular pada tahun 1945, Isa Anshary tidak bisa menerimanya. Sebagaimana umumnya sikap radikalistik yang cenderung nonkompromistik, maka Isa Anshary pun mempunyai pandangan politik yang tegas dalam menolak konsep negara pancasila. Berbeda dengan Hamka dan Natsir, Isa Anshary telah menyerang Pancasila dengan kata-kata yang keras.
Kritik Isa Anshary tidak hanya ditujukan kepada kalangan sekular, namun juga terhadap sesama kelompok Islam. Secara tidak langsung, Isa Anshary pun menyerang Hamka dan Natsir yang mempunyai pandangan moderat mengenai Pancasila. Baginya, pemimpin seperti itu adalah pemimpin yang tidak istiqamah (Anshary, 1957).
Secara tidak langsung, Isa Anshary mengarahkan kritikannya—salah satunya—kepada Natsir. Pernyataan Isa Anshary yang menyebut adanya pemimpin Islam yangberubah haluan menjadi menerima Pancasila karena menghadapi Pemilihan Umum, jelas mengena kepada sosok M. Natsir yang pada peringatan Nuzulul Quran tahun 1954, sebelum Pemilu 1955, yang berpidato tentang kesesuaian sila-sila dalam Pancasila dengan Islam. Natsir berkali-kali balik mengritik agar orang jangan sembarang mengatakan Islam
sebagai anti-Pancasila. Isa Anshary sangat kecewa. Menurutnya, keadaan inilah yang justru membuat partai Islam Masyumi menjadi kalah dalam Pemilu 1955 (Anshary, 1957).
Menurut Isa Anshary, demikian banyak pihak yang mendakwakan diri mempertahankan Pancasila atau setia kepada Pancasila, akhirnya telah membuat Pancasila itu menjadi sejenis thaghut (berhala) yang “merobek dua kalimah sjahadat dan memperkosa rangka tubuh agama kami sendiri” (Anshary, 1958). Lebih jauh, Isa Anshary menyatakan bahwa Pancasila tidaklah sama dengan Islam. Demikian juga, hukum Islam tidak akan tegak di bawah Pancasila:
Sebelas tahun lamanja kita ber-Pantja Sila, nasib agama kita masih seperti sediakala, tiada berubah. Mempertahankan dan menerima Pantja Sila sebagai dasar negara, mempertahankan dan menerima Pantja Sila sebagai asas-kehidupan kenegaraan, berarti tidak membawa madju dan ladju Islam sebagai Undang-Undang hidup jg menghidupkan. Bukan ideologi Pantja Sila, bukan hukum Pantja Sila, bukan negara Pantja Sila jang wadjib kita tegakkan, tapi ideologi Islam, hukum Islam, negara Islam…Hukum Islam harus tegak, ideologi Islam harus menang (Anshary, 1957)
Bagi Isa Anshary, Islam sebagai dasar negara merupakan satu hal yang tidak bisa dikompromikan. Landasan pemikiran Isa Anshary adalah penafsirannya mengenai masalah ideologi yang diserupakan dengan keyakinan agama. Lebih tegasnya, ideologi Islam adalah sekaligus juga aqidah Islam: “Ideologi dan filosofi negara adalah termasuk aqidah bagi umat Islam. Dalam lapangan aqidah umat Islam haram mengadakan kompromi. Siapa jang mau berkompromi, berchianatlah dia kepada Islam…kepada Allah dan RasulNja” (Anshary, 1957).
Dalam bagian lain, Isa Anshary menjelaskan tentang aqidah Islamijjah yang merupakan persoalan prinsipil bagi umat Islam. Dalam hal ini, menurut Isa Anshary, suatu “ijtihad jang benar dalam pengertian djihad Islam untuk menegakkan Daulah dan Hukumijjah Islamijjah, tiada mungkin kalau hanja didasarkan kepada intelektualisme semata-mata”. Menurut pandangannya, ijtihad itu harus dengan bashirah. Yakni, pandangan dan tinjauan bathin yang bersendikan aqidah. Berdasarkan hal inilah, ia menegaskan sikap non-kompromistisnya: “Ideologi jang tengah kita perdjuangkan ini adalah amanah dan risalah jang dipertjajakan Tuhan kepada kita…Amanat ini adalah muthlak, tidak boleh ditawar”. Terkait amanat ummat juga yang menjadi alasannya menolak Pancasila. (Anshari, 1957).
Berdasarkan penafsirannya terhadap beberapa ayat Quran (Ali Imran, 119; Al-Nisa, 59, 115, 139, 141, 144; Al-Maidah, 51, 55,-57; Al-Taubah, 8, 23, 96; Al-Mujadilah, 19-20, 22; Al-Kahfi, 29) Isa Anshary menetapkan garis pembatas karakter pemimpin yang beriman dan yang kufur (munafiq) diindikasikan dari sikap tegas atau tidaknya dalam berpolitik. Sikap kompromistis adalah sikap munafik yang telah keluar dari garis perjuangan Islam. Ia menyimpulkan:
…mengenai Imam dan Imamah dari kaum muslimin…Ia meletakkan “hudud” , batas dan ketentuan, ketetapan dan garis demarkasi jang tadjam sekali, jang haram bagi kaum Muslimin melanggarnja karena untuk memelihara apa jang dinamakan persatuan nasional—seperti jang kita biasa kita dengar dari mulut-mulut munafiq di waktu jang achir-achir ini. Itulah hudud dan hukum Allah (Anshary, Manifest, 1958).
Isa Anshary meyakini bahwa perjuangan kemerdekaan tidak akan lengkap dan revolusi tidak akan berakhir sampai bentuk kontrol Islam terhadap negara dibangun. Untuk itu, ia beranggapan perlunya suatu ‘revolusi Islam’. Ia mengatakan bahwa revolusi Islam bukanlah revolusi nasional yang terbatas pada batasan-batasan teritorial, tetapi lebih merupakan revolusi untuk membebaskan manusia dari eksploitasi fisik dan spiritual. Ia berpendapat bahwa teori, karakter, hakikat, karakteristik, dan filsafat revolusi ini ditentukan oleh Tuhan melalui wahyu dalam bentuk Sunnah (Nabi). Ia menekankan bahwa revolusi Indonesia harus dilanjutkan, tetapi ia harus diberi muatan spiritual untuk mencapai tujuannya menegakkan Islam dan hukum-hukumnya dalam negara dan masyarakat. Hal ini, menurutnya, adalah kewajiban umat Islam yang telah turun-temurun diperjuangkan.
Menurut Isa Anshary, terdapat tiga Qaidah Revolusi Islam. Pertama, perubahan dan perbaikan umat manusia harus dimulai dari keadaan bathiniyyah (mental-spiritual), baru keadaan lahiriyyah (fisik). Kedua, perubahan dan perbaikan keadaan masyarakat harus dilakukan dengan dimulai dari perseorangan, individu-individu anggota masyarakat tersebut. Ketiga, pembinaan dan pembangunan keadilan dan kesejahteraan sosial harus dimulai dari bawah, sedangkan pembersihan ke-dzalim-an, penipuan, korupsi, harus dimulai dari atas.
Oleh karena itulah, Isa Anshary menjadi geram ketika orang-orang menyerukan untuk menghentikan perdebatan masalah furu’iyyah, demi tergalangnya persatuan (politik). Ia dengan tegas menyatakan bahwa Persatuan Islam tidak dapat menerima pandangan tersebut, karena hal itu merupakan suatu pengkhianatan terhadap misi agama (Islam).
Tuduhan pengkhianatan atas misi Islam dari Isa Anshary ini didasarkan atas pemahamannya bahwa masalah chilafiyyah itu adalah bagian dasar dari perjuangan politik Islam. Di lihat dari tujuannya, timbulnya chilafiyyah itu bukan untuk saling menjatuhkan, tetapi untuk “mentjari kebenaran dan mempertadjam kehidupan ruhani”. Kehidupan ruhani itu sendiri adalah program pertama dan mendasar dari proses revolusi Islam. Oleh karena itu, Isa Anshary berkeyakinan bahwa “tjita-tjita kita bersama hendak meninggikan
kalimah Allah…hanjalah dapat ditjapai dengan djalan membersihkan dan menjehatkan Agama dalam kehidupan kita sendiri”.
Fokus Isa Anshary adalah pelaksanaan hukum Quran-Hadits secara muthlak. Dalam konteks inilah, bagi Isa Anshary, yang dibutuhkan adalah kepemimpinan elite ulama, termasuk dalam masalah ketatanegaraan. Argumentasinya adalah karena elitee ulama inilah yang paham tentang syariah dalam Quran-Hadits. Isa Anshary menegaskan, “perintah bermusjawarah jang sering ditardjamahkan orang dengan istilah demokrasi itu sebenarnja tidaklah dengan pengertian ber-Tahkim kepada orang banyak, melalui pungutan suara, mentjari kemenangan separo tambah satu”. Dalam kajian lainnya, Isa Anshary menjelaskan bahwa, “Sistim hidup berdjamaah menurut adjaran Islam, ialah hidup berimamah, hidup memiliki kethaatan. Hidup ber pimpinan dan berkethaatan, ialah hidup ber-Quran dan ber-Sunnah.”
Titik tolak yang menjadi dasar pemikiran Isa Anshary adalah pemahamannya tentang masalah kepemimpinan para ulama ahli hukum. Bagi Isa Anshary, mereka inilah yang berhak memutuskan suatu masalah, termasuk masalah ketatanegaraan. Alasannya, kaum ulama adalah elite masyarakat, karena mengerti Quran-Sunnah. Isa Anshary mengatakan,
Instansi ‘Ahlu Halli wal Aqdy’ dalam sedjarah kenegaraan Islam, ialah kaum jang mengerti Quran dan Sunnah, ialah ulama. Ulama jang berhak ‘mengikat’ dan ‘mengangkat’ Ahlu Halli wal Aqdy, bukan suara terbanjak jang tidak mempunjai ukuran Qur’an dan Sunnah” (Anshary, Persoalan Pimpinan, 1957)
Dalam khazanah pemikiran politik Islam, apa yang ditegaskan Isa Anshary itu bukanlah tesis baru. Jelas ia merujuk pada khazanah klasik ulama sunni yang terkenal, yaitu Imam Al-Mawardi. Di lingkungan syi’ah, ada Imam Khomaeni, misalnya, yang mengajukan konsep ‘Vilayat-e-Fakih’. Yakni, kekuasaan politik itu, baik eksekutif maupun legislatif, ada di tangan kaum cendekia yang paham akan hukum agama atau yang biasa disebut kaum fakih. Kaum fakih ini adalah penafsir, panjaga, sekaligus pelaksana syari’ah. Bedanya, Isa Anshary hanya menekankan dari segi pembuatan hukum saja, yakni konstitusi. Isa Anshary tidak menjelaskan lebih lanjut teorinya itu, yakni apakah kekuasaan kaum ulama (ahli syariah) itu juga meliputi wilayah eksekutif. Ia berhenti padasoal Ahlu Halli wa al-Aqdy (lembaga legislatif)

A. Hassan: Ulama Nasional yang Serba Bisa, Mandiri, Tegas dan Gigih Berdakwah

sumber :http://www.voa-islam.com

Perkembangan Islam nusantara pada paruh pertama abad XX merupakan zaman pergolakan pemikiran dengan semangat memurnikan ajaran Islam sesuai Al-Qur'an dan Sunnah. Pergolakan ini menjelma dalam bentuk gerakan sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Al-Irsyad. Dalam gerakan-gerakan itu, sosok Ahmad Hassan tidak mungkin dilewatkan karena perannya yang begitu besar dan pengaruhnya yang begitu luas melewati batas organisasi.

Posisi Ahmad Hassan dalam pertarungan pemikiran Islam itu ditunjukkan lewat tulisannya yang tajam dan tegas di berbagai risalah, buku, dan majalah. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai ahli debat yang ulung dalam menggugurkan argumentasi lawan-lawannya. Kontribusi Ahmad Hassan dan murid-muridnya yang menjadi tokoh Persatuan Islam, seperti Muhammad Natsir dan Isa Anshari.
::
Di kalangan pecinta buku-buku islami, Ahmad Hassan lebih akrab dengan nama singkat A Hassan, karena nama inilah yang dicantumkan dalam puluhan kitab yang ditulisnya. Ia dikenal pula dengan panggilan akrab Hassan Bandung karena lama tinggal di Bandung, atau Hassan Bangil karena mendirikan Pesantren di Bangil, Jawa Timur.

A Hassan lahir pada tahun 1887 di Singapura dengan nama kecilnya Hassan Bin Ahmad. Ayahnya bernama Ahmad seorang pedagang, pengarang dan wartawan terkenal di Singapura. Ia menjadi pemimpin redaksi surat khabar “Nurul Islam” yang terbit di Singapura. Sedangkan ibunya, Hajjah Muznah berasal dari Palekat, Madras India dan mempunyai asal-usul dari Mesir, tetapi lahir di Surabaya.

Dalam lingkungan perniagaan dan kewartawanan ayahnya itulah A Hassan dilahir dan dibesarkan. Sebagai anak laki-laki, sang ayah berharap apabila besar nanti A Hassan menjadi seorang penulis seperti dirinya. Untuk itu, dia berusaha memberi pendidikan yang terbaik kepada A Hassan.
Suatu keistimewaan yang dianugerahkan Allah SWT kepada Hassan, dalam usia 7 tahun, dia sudah mempelajari Al-Quran dan dasar-dasar pengetahuan agama. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, kedua pelajaran ini dapat diselesaikannya dalam tempo dua tahun.
...dalam usia 7 tahun, A Hassan sudah mempelajari Al-Quran dan dasar-dasar pengetahuan agama. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, kedua pelajaran ini dapat diselesaikannya dalam tempo dua tahun...
Selepas itu Hassan masuk sekolah Melayu selama 4 tahun dan mempelajari bahasa Arab, bahasa Melayu, bahasa Tamil dan bahasa Inggris.

Hassan tidak sempat menamatkan sekolah dasarnya di Singapura, tetapi dia sudah mulai bekerja pada usianya 12 tahun. Dia bekerja di sebuah kedai kepunyaan iparnya Sulaiman.

Hassan mempelajari ilmu nahwu dan sharaf pada Muhammad Thaib, seorang guru terkenal di Minto Road atau juga terkenal Kampung Rokoh.

Demi semangat dan cintanya kepada ilmu, Hassan menerima persyaratan dari gurunya, yakni datang belajar pagi sebelum subuh dan tidak boleh naik kenderaanketika datang mengaji.

Setelah beberapa lama belajar Nahwu-sharaf, lalu Hassan memperdalam bahasa Arab kepada Said Abdullah Al-Munawi Al-Manusili selama beberapa tahun.

Di samping itu, Hassan juga memperdalam agama dengan Abdul Lathif (guru yang terkenal di Melaka dan Singapura), Haji Hassan (Syeikh dari Malabar) dan Syeikh Ibrahim India.
Semua proses belajar seperti ini ditekuni oleh Hassan dengan penuh dedikasi hingga tahun 1910 ketika Hassan berusia 23 tahun.
...di luar waktu belajar, A Hassan mengasah bakat keterampilan dalam bidang bertenun dan pertukangan kayu. Dia juga membantu ayahnya di percetakan, menjadi pelayan di kedai perniagaan permata, minyak wangi, dsb...
Meskipun ketekunannya dalam menuntut ilmu begitu tinggi, di luar waktu belajar, Hassan juga mempunyai keterampilannya tersendiri mengasah bakat dalam bidang bertenun dan pertukangan kayu. Dia juga sempat membantu ayahnya di percetakan, menjadi pelayan di kedai perniagaan permata, minyak wangi, dan sebagainya malah pernah bekerja di Jeddah Pilgrim’s Office, sebuah pejabat urusan jemaah haji.

Setelah menyelesaikan proses belajar hingga tahun 1910, Hassan mula mengabdikan diri sebagai guru. Sementara di Madrasah untuk orang-orang India di beberapa tempat, antaranya di Arab Street, Baghdad Street dan Geylang di Singapura.

Keinginan ayahnya untuk melihat Hassan menjadi penulis mulai menampakkan hasilnya apabila Hassan mulai menunjukkan kecenderungannya ke bidang tersebut dalam usia masih muda.

Pada tahun 1912-1913, dia membantu Utusan Melayu yang diterbitkan di Singapura pimpinan Inche Hamid dan Sa’dullah Khan.

Hassan banyak menulis tentang agama yang berupa nasihat, anjuran berbuat baik dan mencegah kejahatan. Ia juga menyoroti berbagai persoalan yang berkembang dalam bentuk ‘syair’. Tulisannya banyak mengandungi kritikan masyarakat demi untuk kemajuan Islam. Dan tema tulisan sedemikian itulah yang banyak mewarnai hasil karyanya di masa-masa berikutnya.

Ulama Tegas dengan Prinsip Mandiri, Berdiri Tegak di Atas Kaki Sendiri

Selain dikenal sebagai ulama terkemuka di Indonesia, nama A Hassan juga tersohor sampai ke Malaysia dan Singapura, karena nama besar Pesantren Persis yang didirikannya terkenal sampai ke sana. Bahkan buku-buku agama yang ditulisnya kerap jadi rujukan di negeri jiran tersebut.

A Hassan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam dan kritis terutama dalam cara memahami nas (teks) Al-Qur’an maupun Hadits yang cenderung literalis. Walaupun dikenal sebagai pemuka dan guru besar Persatuan Islam (PERSIS) pendapat dan sikapnya terhadap takhayul, bid’ah dan churafat (TBC) bisa dikatakan sama persis dengan Muhammadiyah. Oleh karena itu, ada pula sebagian besar warga persyarikatan Muhammadiyah mengutip pendapat dari A Hassan, karena dianggap jelas dan tidak bertele-tele.

Keahliannya dalam bidang Hadits, Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Ilmu Kalam dan Mantiq, menjadikannya sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam dalam berbagai masalah. Koleksi bukunya sangat banyak yang selalu dibaca, diteliti, bahkan mungkin dihafal olehnya.

A Hassan juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai prinsip berdiri tegak di atas kaki sendiri yang merupakan hasil pendidikan langsung dari orang tuanya. Artinya tidak pernah mengharapkan bantuan orang lain dan selalu berusaha dengan tangan sendiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hal ini terlihat ketika A Hassan masih remaja, ia pernah menjadi buruh di toko kain, berdagang permata, minyak wangi, vulkanisir ban mobil, menjadi guru bahasa Melayu, bahasa Arab, guru agama, menulis opini dan karangan dalam majalah ataupun surat kabar, baik yang ada di Singapura dan Indonesia.
...Salah satu tulisan A Hassan yang dianggap kritis saat itu ialah kritikannya terhadap Tuan Qadhi (Hakim Agama) yang memeriksa perkara dengan mencampurkan tempat duduk pria dan wanita (ikhtilath). Padahal saat itu, Qadhi memiliki kedudukan yang tinggi sehingga tidak ada yang berani mengkritiknya...
Salah satu tulisannya yang dianggap kritis saat itu ialah kritikannya terhadap Tuan Qadhi (Hakim Agama) yang memeriksa perkara dengan mencampurkan tempat duduk pria dan wanita (ikhtilath). Saat itu merupakan tindakan yang dianggap luar biasa mengingat Qadhi (Hakim Agama) memiliki kedudukan yang tinggi sehingga tidak ada yang berani mengkritiknya. Itulah tulisan A Hassan yang pertama kalinya.

Dalam profesinya sebagai pengarang dan penulis, Hassan juga pernah membuat cerita humor yang berjudul ’Tertawa’ dan diterbitkan dalam empat jilid.

Pada tahun 1909, dalam usia yang masih relatif muda, A Hassan aktif menjadi asisten “Utusan Melayu.” Ia aktif memberi ceramah. Pidatonya tentang kemunduran umat Islam dianggap terlalu politis sehingga ia dilarang untuk berpidato di muka umum.

Pada tahun 1921, A Hassan pindah dari Singapura ke Surabaya. Awalnya ia berdagang tetapi mengalami kerugian dan kembali ke profesi awalnya sebagai tukang vulkanisir ban mobil. Sambil berwiraswasta, ia menjalin persahabatan dengan beberapa tokoh Syarikat Islam. Di antaranya, HOS Cokroaminoto, AM Sangaji, H Agus Salim dan lain-lain. Sambutan hangat ditunjukkan kepada A Hassan karena kepiawaiannya dalam ilmu Agama dan jiwa pejuang yang dimilikinya.

Ia juga pernah belajar tenun di Kediri, tetapi tidak memuaskannya, sehingga pada tahun 1925 ia pindah ke Bandung dan mendapat ijazah menenun di Kota Bandung. Di kota inilah ia berkenalan dengan para saudagar PERSIS, antara lain, Asyari, Tamim, Zamzam dan lain-lain. Dari perkenalan inilah A Hassan sering diundang untuk ceramah dan memberikan pelajaran pada pengajian-pengajian jamaah PERSIS. Dengan metode dakwahnya dan kepribadiannya serta pengetahuannya yang luas, jamaah PERSIS tertarik dengan A Hassan sehingga ia dikukuhkan sebagai guru dan tokoh PERSIS. Hal inilah yang membuat ia membatalkan untuk kembali ke Surabaya.

Di Bandung selain aktif sebagai guru PERSIS, ia memberi kursus/privat kepada pelajar-pelajar didikan Barat, bertabligh setiap minggu, menyusun berbagai karangan pada berbagai majalah.

Debat A Hassan Kontra Ahmadiyah

Sejak awal A Hassan yang ahli debat itu sangat menetang Ahmadiyah, sebab ajarannya menyeleweng dari ajaran Islam. Penyelewengannya yang terutama adalah pengakuannya terhadap Murza Gulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad SAW, dan mengaku adanya kitab suci setelah Al-Quran, yaitu Tadzkirah yang diturunkan kepada Murza Gulam Ahmad. Inilah penyelewengan yang sangat fatal. Bila mengaku ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw dan ada kitab suci setelah Al-Quran, kelompok itu jelas keluar dari Islam, tidak termasuk golongan muslim.

Maka pada tahun 1930-an, Tuan Hassan melakukan perdebatan dengan tokoh Ahmadiyah Indonesia, Abubakar Ayyub.
...Sejak awal A Hassan yang ahli debat itu sangat menetang Ahmadiyah, sebab ajarannya menyeleweng dari ajaran Islam. Maka pada tahun 1930-an, A Hassan melakukan perdebatan dengan tokoh Ahmadiyah Indonesia, Abubakar Ayyub. ...
Dalam perdebatan itu, A Hassan mengemukakan sebuah “hadits” yang berbunyi: “Di hari Rasulullah SAW meninggal, bumi berteriak, katanya: “Ya Allah, apakah badanku ini akan Engkau kosongkan daripada diinjak oleh kaki-kaki nabi sampai hari kiamat?” Maka Allah berfirman kepada bumi itu: “Aku akan jadikan di atas badanmu manusia yang hatinya seperti nabi-nabi.”

Abubakar Ayyub lalu menanyakan tentang riwayat hadits ini.  Maka A Hassan menjawab tidak tahu, sambil berkata: “Apakah tuan suka hadits ini? Bila tuan suka silakan pakai, bila tidak silakan tolak.”

Abubakar Ayyub pun menolak “hadits” yang disampaikan oleh A Hassan itu, karena tidak jelas siapa perawinya, dari mana diambilnya, dan di kitab apa tertulisnya. Pengikut Ahmadiyah yang hadir ketika itu bersorak, merasa bangga dengan tokohnya yang akan menang berdebat dengan waktu singkat, sebab A Hassan tidak bisa menerangkan riwayat hadits yang dibacanya. Para penonton dari kalangan Ahmadiyah bersorak, dan Ayyub pun merasa dirinya menang.

Namun kemudian A Hassan membuat kejutan. Ia mengatakan bahwa hadits itu terdapat di kitab Mirza, Tuhfah Baghdad halaman 11. Seketika, para pengikut Ahmadiyah diam seribu bahasa.

Maka A Hassan meminta kepada Abubakar Ayyub agar bertanya kepada nabinya (Mirza) tentang riwayat hadits itu dan dari mana diambilnya, serta tanyakan pula, bagaimana bumi bisa bicara kepada manusia, sebab hadits itu bukan hadits nabi, mengingat bumi berteriak setelah Rasulullah wafat. Jadi, tegas A Hassan, tentu ada orang lain yang mendengar omongan bumi, dan jawaban Allah itu pun orang lain yang mendengar. Siapa dia? Tanyakan kepada “nabi” Mirza.

Abubakar Ayub yang ketika itu sudah kalah total tak bisa membantah argumen A Hassan, tetapi ia masih berkelit dengan mengatakan bahwa hadits itu, bisa jadi terdapat dalam kitab “Kanzul Ummi,” masih kitabnya Ahmadiyah, namun ia bahkan melemahkan dirinya dengan mengaku tidak membawa kitab tersebut, jadi tidak bisa dilihat.
...Abubakar Ayub, tokoh Ahmadiyah Indonesia itu sudah kalah total tak bisa membantah argumen A Hassan. Ia hanya berkelit...
Selanjutnya A. Hassan menegaskan bahwa dengan adanya “hadits” itu sudah cukup menunjukkan kepalsuan Mirza. Lagi pula, kata A Hassan, hadits yang dibawakan oleh Mirza itu dengan jelas menyebutkan bahwa nabi (setelah Nabi Muhammad) tidak ada lagi. Yang ada hanya orang-orang yang hatinya seperti nabi.

“Kalau perkataan yang begini terang, tuan mau putar-putar lagi, saya minta diadakan juri. Saya heran, apa sebab Ahmadiyah takut diadakan juri. Juri tidak akan makan orang!” tegas A. Hassan.

Dari perdebatan ini jelas bahwa sebenarnya Abubakar Ayyub tidak memiliki hujjah (dalil) yang kuat untuk membela Mirza Gulam Ahmad sebagai seorang nabi. Meski demikian ia tidak tunduk dan menjadi pengikut Islam yang benar. Ia tetap menjadi pengikut Ahmadiyah. Memang Abubakar Ayyub dikenal sebagai orang yang pandai memutarbalikkan fakta demi untuk mempertahankan keyakinannya kepada Ahmadiyah.

Hal itu terlihat ketika A Hassan tak menyebut rawi hadis dan kitab yang memuatnya, keluarlah ejekan dan cemoohan. Namun kektika A. Hassan menyebutkan bahwa hadis itu tertera di kitab Tuhfah Baghdad terbitan Punjab Press Sialkot, Muharram 1311 H, Abubakar Ayyub dan pengikut Mirza lainnya pucat pasi, tetapi mereka tidak berubah keyakinan, tetap menjadi pengikuti Mirza.

Ulama yang Kritis, Penulis yang Produktif

A Hassan adalah ulama yang sangat produktif dalam menulis. Di antara puluhan buku yang ditulisnya, beberapa yang paling populer adalah: Tafsir Al-Furqan, Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama (4 jilid), Kitab Pengajaran Shalat, dan Terjemah Bulughul Maram disertai catatan dari A Hassan.

Pemikiran A Hassan sering dianggap dengan suatu yang agresif, ekstrem, dan puritan, karena karakter pemahaman yang literalis. Hal ini sangat jelas dalam masalah yang berkaitan dengan ibadah, khususnya ibadah mahdhah, ia sama sekali menolak hal yang berbau bid’ah.
...A Hassan menekankan bahwa ijtihad harus merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits yang shahih saja. Implikasinya adalah terpinggirkannya fatwa para kiyai yang tidak diketahui rujukan nasnya atau bertentangan dengan nas....
Dalam prinsip ijtihad, A Hassan menekankan bahwa ijtihad harus merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits yang shahih saja. Implikasinya adalah terpinggirkannya fatwa para kiyai, terutama karena tidak diketahui rujukan nasnya atau bertentangan dengan nas. Kalaupun ada ulama yang dijadikan rujukan itu lebih karena pendapatnya dianggap sesuai dengan nas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Konsekuensi dari daya kritisnya, A Hassan sangat menentang taklid (mengikuti pendapat tanpa mengetahui alasannya atau dalil) secara mutlak. Tetapi memperkenankan ittiba’, yaitu mengikuti suatu pendapat yang jelas dalilnya dan diakui kebenarannya.

Dalam beristimbath, A Hassan lebih memegang lafaz (kata) yang lebih jelas (zahir) dalam menyimpulkan hukum. A Hassan berpegang teguh pada zahir nas dan menolak takwil.

Sebagai penulis besar dan ulama yang banyak pergaulan, A Hassan tentu mendapat banyak kiriman surat. Tapi di tengah kesibukannya berdakwah, tabligh dan menulis, A Hassan sangat perhatian terhadap surat-surat yang dikirimkan kepadanya. Hampir-hampir tak ada satu surat pun yang tidak dibalasnya. Kalau surat itu berisi pertanyaan, niscaya dijawabnya dengan jelas dan gamblang. Agaknya, tak pernah A Hassan melalaikan selembar surat pun yang dikirimkan kepadanya, karena kepribadiannya yang tulus dan menghargai pendapat semua orang.
...A Hassan sangat menentang taklid (mengikuti pendapat tanpa mengetahui alasannya atau dalil) secara mutlak. Tetapi memperkenankan ittiba’, yaitu mengikuti suatu pendapat yang jelas dalilnya dan diakui kebenarannya....
Hijrah ke Bangil Mendirikan Pesantren PERSIS

Setelah tujuh belas tahun berjuang dan berdakwah di Bandung, pada tahun 1941 A Hassan berhijrah ke Bangil, bersama percetakannya untuk bekal hidup. Sebagaimana yang dilakukan semasa di Bandung, di tempat barunya ini A Hassan terus berdakwah melalui penulisan, tabligh, pengajian dan dialog serta perdebatan. Ia terus menulis buku, mencetak dan menerbitkannya sendiri.

Di Bangil, ia mendirikan pesantren PERSIS di samping pesantren putri yang sampai kini dihuni oleh para santri dari berbagai tanah air. Pesantren tersebut dipimpin oleh putra sulungnya Abdul Qadir Hassan. Solidaritas sosial yang sangat tinggi dari sosok ulama ahli debat dan teguh pendirian ini menjadi karisma tersendiri bagi orang-orang yang mengenalnya. Dia sangat memuliakan tamu dan pintunya selalu terbuka lebar bagi siapa saja yang mengunjunginya dengan sambutan yang hangat dan akrab dari tuan rumah.

Akhirnya ulama yang hati-hati dalam agama, kritikus ulung dan memiliki semboyan hidup “Tidak ada penghidupan yang lebih baik dari hidup mengikuti tuntunan agama dan berbuat baik kepada siapapun sekadar bisa dan penuh keikhlasan” itu berpulang ke rahmatullah pada tanggal 10 November 1958 dalam usia 71 tahun. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat kepadanya.
...A Hassan telah lama pergi meninggalkan dunia yang fana ini. Usianya dibatasi kematiannya, tapi pemikiran dan karya ilmiahnya masih hidup hingga sekarang, melalui puluhan kitab yang ditulisnya...
A Hassan telah lama pergi meninggalkan dunia yang fana ini, namun namanya tetap dikenang. Banyak hasil karya peninggalannya yang menjadi amal jariah yang tak terputus kepada tokoh ini. Usianya dibatasi kematiannya, tapi pemikiran dan karya ilmiahnya masih hidup hingga sekarang, melalui kitab-kitab yang ditulisnya, antara lain:
  1. Tafsir Al-Furqan,
  2. Soal-Jawab (4 jilid),
  3. A.B.D. Politik,
  4. Adakah Tuhan?
  5. Al-Burhan,
  6. Al-Fara’id,
  7. Al-Hidayah,
  8. Al-Hikam,
  9. Al-Iman,
  10. Al-Jawahir,
  11. Al-Manasik,
  12. Al-Mazhab,
  13. Al-Mukhtar,
  14. An-Nubuwwah,
  15. Apa Dia Islam?
  16. Aqaid,
  17. At-Tauhid,
  18. Bacaan Sembahyang,
  19. Belajar Membaca Huruf Arab,
  20. Bibel lawan Bibel,
  21. Bulughul Maram,
  22. Debat Kebangsaan,
  23. Debat Luar Biasa,
  24. Debat Riba,
  25. Debat Taklid,
  26. Debat Talqin,
  27. Dosa-dosa Yesus,
  28. First Step,
  29. Hafalan,
  30. Hai Cucuku,
  31. Hai Putriku,
  32. Halalkah Bermazhab?
  33. Is Muhammad a Prophet?
  34. Isa dan Agamanya,
  35. Isa Disalib?
  36. Isra’ Mi’raj,
  37. Kamus Persamaan,
  38. Kamus Rampaian,
  39. Kesopanan Islam,
  40. Kesopanan Tinggi,
  41. Ketuhanan Yesus,
  42. Kitab Riba,
  43. Kitab Tajwid,
  44. Matan Ajrumiyah,
  45. Merebut Kekuasaan,
  46. Muhammad Rasul,
  47. Nahwu,
  48. Pedoman Tahajji,
  49. Pemerintahan Islam,
  50. Pengajaran Shalat,
  51. Pepatah,
  52. Perempuan Islam,
  53. Qaidah Ibtidaiyah,
  54. Ringkasan Islam,
  55. Risalah Ahmadiyah,
  56. Risalah Hajji,
  57. Risalah Jum’at,
  58. Risalah Kudung,
  59. Special Diction,
  60. Surat Yasin,
  61. Syair,
  62. Talqien,
  63. Tertawa,
  64. Topeng Dajjal,
  65. Wajibkah Zakat?
  66. What is Islam, dan masih banyak lagi.

Semoga sekilas catatan hidup Hassan Bandung ini dapat kita ambil iktibar untuk dicontohi, Insya Allah. [a. ahmad Hizbullah/voa-islam.com]

referensi:
  1. Ensiklopedi Tokoh Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah.
  2. Hassan Bandung-Pemikir Islam Radikal, Dr Syafiq A Mughni MA PhD., Penerbit Bina Ilmu Surabaya.
  3. Riwayat Hidup A. Hassan, H Tamar Djaja, Penerbit Mutiara, Jakarta.